Sekitar tahun 301 sebelum Masehi,
seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan berlabuh
di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh! Kemudian
dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di
peta para pelaut.
Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari
Sohar, Oman, jauh mengarungi melalui rute Maldives, Pulau Kalkit
(India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China).
Sinbad berlabuh di pulau Weh dan menamainya Pulau Emas.
Pedagang Arab yang berlayar sampai ke pulau Web menamakannya Shabag yang
berarti Gunung meletus. Mungkin dari sinilah kata Sabang berasal, dari
Shabag. Dari sumber lain dikatakan bahwa nama pulau Weh berasal dari
bahasa Aceh yang berarti terpisah. Pulau ini pernah dipakai oleh Sultan
Aceh untuk mengasingkan orang-orang buangan.
Sebelum terusan
Suez dibuka tahun 1869, kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda
dari arah Benua Afrika, namun setelah terusan Suez dibuka maka jalur ke
Indonesia menjadi lebih pendek yaitu melalui Selat Malaka. Karena
kealamian pelabuhan dengan perairan yang dalam dan terlindungi alam
dengan baik, pemerintah Hindia Belanda pada saat itu memutuskan untuk
membuka Sabang sebagai dermaga. Pulau Weh dan kota Sabang sebelum Perang
Dunia II adalah pelabuhan terpenting di selat Malaka, jauh lebih
penting dibandingkan Temasek (sekarang Singapura). Dikenal luas sebagai
pelabuhan alam bernama Kolen Station yang dioperasikan oleh pemerintah
kolonial Belanda sejak tahun 1881.
Pada tahun 1883, dermaga
Sabang dibuka untuk kapal berdermaga oleh Asosiasi Atjeh. Awalnya,
pelabuhan tersebut dijadikan pangkalan batubara untuk Angkatan Laut
Kerajaan Belanda, tetapi kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang
untuk mengirim barang ekspor dari Sumatra bagian utara. Pada tahun 1887,
Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah,
membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas
di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah Vrij Haven dan
dikelola oleh Sabang Maatschaappij.
Saat ini setiap tahunnya,
50.000 kapal melewati Selat Malaka sehingga pada tahun 2000, pemerintah
Indonesia menyatakan Sabang sebagai Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas untuk mendapatkan keuntungan dengan mendirikan pelabuhan Sabang
tersebut sebagai pusat logistik untuk kapal luar negeri yang melewati
Malaka. Prasarana untuk dermaga, pelabuhan, gudang dan fasilitas untuk
mengisi bahan bakar sedang dikembangkan.
Hal yang paling
penting bagi sejarah Weh adalah sejak adanya pelabuhan di Sabang.
Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan
dan iklim yang baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana,
pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa
menampung 25.000 ton batubara telah terbangun. Kapal Uap, kapal laut
yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk
mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya.
Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding
Singapura. Di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura
menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.
Pada
tahun 1970, pemerintahan Republik Indonesia merencanakan untuk
mengembangkan Sabang di berbagai aspek, termasuk perikanan, industri,
perdagangan dan lainnya. Pelabuhan Sabang sendiri akhirnya menjadi
pelabuhan bebas dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di
Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun 1986.
Sejarah Nama Sabang dan Pulau Weh
Berbicara mengenai sejarah, nama Sabang sendiri berasal dari bahasa
Arab, Shabag yang artinya gunung meletus. Mengapa gunung meletus?
mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di
Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung
berapi di dalam laut Pria Laot.
Sekitar tahun 301 sebelum
Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan
berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh!
Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau
Emas di peta para pelaut.
Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan
pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi melalui rute Maldives, Pulau
Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton
(China). Sinbad berlabuh di sebuah pulau dan menamainya Pulau Emas,
pulau itu yang dikenal orang sekarang dengan nama Pulau Weh.
Sedangkan Pulau Weh berasal dari kata dalam bahasa Aceh, Weh yang
artinya pindah, menurut sejarah yang beredar Pulau Weh pada mulanya
merupakan satu kesatuan dengan Pulau Sumatra, karena sesuatu hal
akhirnya Pulau Weh, me-weh-kan diri ke posisinya yang sekarang. Makanya
pulau ini diberi nama Pulau Weh. Berdasarkann sejarah penuturan dari
warga di Gampong Pie Ulee Lheueh, Pulau Weh sebelumnya bersambung dengan
Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh sebenarnya adalah Ulee Lheueh
(yang terlepas). Beredar kabar juga Gunung berapi yang meletus dan
menyebabkan kawasan ini terpisah. Seperti halnya Pulau Jawa dan Sumatera
dulu, yang terpisah akibat Krakatau meletus. Pulau Weh terkenal dengan
pulau We tanpa H, ada yang beranggapan kalau pulau weh diberi nama pulau
we karena bentuknya seperti huruf W.
sejarah Pulau Weh adalah
sejak adanya pelabuhan di Kota Sabang. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah
sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik.
Kemudian Belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam,
mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton
batubara telah terbangun. Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh
batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air
segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya, hal ini dapat dilihat
dengan masih banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda.
Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding
Singapura. Namun, di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka
Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.
Runtutan Sejarah kota Sabang
Titik nol Indonesia dimulai dari pulau ini. Pulau yang terletak di
ujung terluar dan merupakan pintu gerbang wilayah barat negeri ini.
Berbagai nama dan julukan telah disebutkan oleh para pelaut untuk pulau
kecil yang memiliki keindahan alam hingga ke dasar lautnya ini. Bahkan
berbagai penafsiran juga telah diberikan terhadap nama terkininya yang
hanya terdiri dari tiga huruf: w-e-h.
Pulau Weh memiliki dua
teluk yang dalam dan terlindung, yaitu Sabang dan Balohan, sebagai
pelabuhan alam. Juga sumber air bersih dan letak yang strategis. Jadi
tak mengherankan bila berbagai peristiwa telah terjadi di pulau ini.
Setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, kepulauan Indonesia
tidak lagi dicapai dari selatan, yaitu melalui Selat Sunda. Tetapi
melalui sepanjang rute yang lebih utara, yaitu Selat Malaka, dan tentu
saja melewati pulau Weh. Sayangnya data tertulis hanya merekam angka
1881 sebagai tahun terawal pulau Weh tercatat dalam sejarah tulisan yang
otentik.
Tahun 1881 Belanda mendirikan Kolen Station di teluk
Sabang yang yang terkenal dengan pelabuhan alamnya. Tahun 1883
Didirikannya Atjeh Associate oleh Factorij van de Nederlandsche Handel
Maatschappij (Factory of Netherlands Trading Society) dan De Lange &
Co. di Batavia (Jakarta) untuk mengoperasikan pelabuhan dan stasiun
batubara di Sabang. Pelabuhan itu dimaksudkan sebagai stasiun batubara
untuk Angkatan Laut Belanda, tetapi kemudian juga melayani kapal dagang
umum. Tahun 1895 Kolenstation selesai dibangun dan bisa menampung 25.000
ton batubara yang berasal dari tambang batubara Ombilin di Sumatera
Barat. Pelabuhan juga menyediakan bahan bakar minyak yang dikirim dari
Palembang. Kapal uap dari banyak negara, singgah untuk mengambil bahan
bakar batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya.
Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding
Singapura.
Tahun 1896 Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas
(vrij haven) untuk perdagangan umum dan sebagai pelabuhan transito
barang-barang terutama dari hasil pertanian Deli yang telah menjadi
daerah perkebunan tembakau semenjak tahun 1863 dan hasil perkebunan
berupa lada, pinang, dan kopra dari Aceh sendiri, sehingga Sabang mulai
dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.
Tahun
1899 Ernst Heldring mengenali potensi Sabang sebagai pelabuhan
internasional dan mengusulkan pengembangan pelabuhan Sabang pada
Nederlandsche Handel Maatschappij dan beberapa perusahaan Belanda
lainnya melalui bukunya yang berjudul Oost Azie en Indie. Tahun 1899
Balthazar Heldring selaku direktur NHM merubah Atjeh Associate menjadi
N.V. Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia (Sabang Seaport and Coal
Station of Batavia) yang kemudian dikenal dengan Sabang Maatschappij
dan merehab infrastruktur pelabuhan agar layak menjadi pelabuhan
bertaraf internasional. Tahun 1903 CJ Karel Van Aalst sebagai direktur
NHM yang baru, mengatur layanan dwi-mingguan antara pelabuhan Sabang dan
negeri Belanda, melibatkan Stoomvaart Maatschappij Nederland
(Netherlands Steamboat Company) dan Rotterdamsche Lloyd. Selain itu, dia
juga mengatur suntikan modal penting bagi Sabang Maatschappij dengan
NHM sebagai pemegang saham mayoritas.
Tahun 1910 didirikan
stasiun radio pemancar (Radio Zendstation te Sabang) di Ie Meulee (salah
satu dari tujuh radio pemancar di Hindia Belanda Timur) untuk kemudahan
komunikasi antara Belanda dan wilayah koloninya.
Tahun 1942
Pada PD II, Sabang diduduki oleh Jepang dan dijadikan basis pertahanan
wilayah barat. Sabang sebagai pelabuhan bebas ditutup.
Tahun
1945 Sabang mendapat dua kali serangan dari pasukan Sekutu dan
menghancurkan sebagian infrastruktur. Kemudian Indonesia Merdeka tetapi
Sabang masih menjadi wilayah koloni Belanda.
Tahun 1950 Setelah
KMB, Belanda mengembalikan Sabang kepada Indonesia. Upacara
penyerahannya berlangsung di gedung Controleur (gedung Dharma Wanita
sekarang). Kemudian melalui keputusan Menteri Pertahanan Republik
Indonesia Serikat Nomor 9/MP/50, Sabang menjadi Basis Pertahanan Maritim
Republik Indonesia. Sabang Maatschappij dilikuidasi. Prosesnya selesai
tahun 1959. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschappij dibeli oleh
Pemerintah Indonesia.
Tahun 1963, Tim Peneliti dari Universitas
Syiah Kuala Banda Aceh bekerja sama dengan gabungan Pengurus Exsport
Indonesia Sumatera melakukan penelitian terhadap kemungkinan Sabang
dibuka kembali menjadi pelabuhan bebas, karena letaknya sangat strategis
dalam sektor perdagangan antar Negara. Kemudian melalui Keputusan
Presiden Nomor 10 Tahun 1963, Sabang ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas
(Free Port), dan pelaksanaannya diserahkan kepada Komando Tertinggi
Operasi Ekonomi (KOTOE).
Tahun 1964 Dibentuklah suatu lembaga
Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang (KP4BS)
melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 22 Tahun 1964.
Tahun 1965 Kotapraja Sabang dibentuk dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1965.
Tahun 1970, dikeluarkan UU No. 3 tahun 1970 dan No. 4 tahun 1970
tentang ketentuan-ketentuan pokok daerah perdagangan bebas dengan
pelabuhan Sabang dan tentang daerah perdagangan bebas dengan pelabuhan
bebas untuk masa 30 tahun, dengan fungsi sbb: 1. Mengusahakan persediaan
(stockpiling) barang-barang konsumsi dan produksi untuk perdagangan
impor, ekspor, re-ekspor maupun industri.
2. Melakukan
peningkatan mutu (upgrading), pengolahan (processing), manufacturing,
pengepakan (packing), pengepakan ulang (repacking), dan pemberian tanda
dagang (marking).
3. Menumbuhkan dan memperkembangkan industri, lalu lintas perdagangan, dan perhubungan.
4. Menyediakan dan memperkembangkan prasarana dan memperlancar
fasilitas pelabuhan, memperkembangkan pelabuhan, pelayaran, perdagangan
transito, dan lain-lain.
5. Mengusahakan memperkembangkan
kepariwisataan dan usaha-usaha ke arah terjelma dan terbinanya shopping
centre. -Mengusahakan dan memperkembangkan kegiatan-kegiatan lainnya
khususnya dalam sektor perdagangan, maritim, perhubungan, perbankan dan
peransuransian.
Tahun 1985 Status Sabang sebagai Daerah
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditutup oleh Pemerintah RI
melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1985, dengan alasan maraknya
penyeludupan dan akan dibukanya Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas
dan Pelabuhan Bebas. Tahun 1993 Posisi Sabang mulai diperhitungkan
kembali dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional
Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).
Tahun
1997 Dilaksanakannya Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang
diprakarsai BPPT di Pantai Gapang, Sabang, untuk mengkaji kembali
pengembangan Sabang.
Tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo
Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang
bersama-sama KAPET lainnya diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan
Keppres No. 171 tanggal 26 September 1998.
Tahun 2000 Presiden
KH. Abdurrahman Wahid mencanangkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan
Bebas dan Pelabuhan Bebas dan tanggal 22 Januari 2000 diterbitkan Inpres
No. 2 Tahun 2000
Tanggal 1 September 2000 diterbitkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 Tahun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Tanggal
21 Desember 2000 diterbitkan Undang-undang No. 37 Tahun 2000 tentang
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Tahun 2002 Aktivitas pelabuhan Sabang mulai berdenyut kembali dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang.
Tahun 2004 Aktivitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.
Tanggal 26 Desember 2004 Sabang juga mengalami Gempa dan Tsunami.
Kemudian Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias menetapkan
Sabang sebagai tempat transit udara dan laut untuk bantuan korban
tsunami dan pengiriman material konstruksi dan lainnya yang akan
dipergunakan di daratan Aceh.
Paskaperjanjian damai antara
Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005, Sabang kembali berdenyut.
Wisatawan asing pun kembali berdatangan menikmati pesona pantai paling
barat Indonesia ini. (Trisnani Murnilawati, Sabang Heritage Society,
Sabang, Juni 2010.)