JIKA ada tempat wisata yang bisa membuat orang yang pernah datang ke sana
ingin kembali lagi ke tempat itu, maka itu adalah Pulau Weh. Rasanya tak
berlebihan menyebutnya demikian karena begitulah yang saya rasakan.
Akhir Maret 2012 lalu saya memiliki kesempatan berkunjung ke pulau terluar
di ujung barat Indonesia itu. Setelahnya saya sangat bersyukur karena bisa
menikmati pesona Pulau Weh yang sangat indah. Meskipun belum semua objek
wisatanya sempat saya kunjungi.
Rasa penasaran soal pulau itu mulai saya rasakan sejak mengantri untuk
membeli tiket di Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh. Apalagi dari Ulee Lheu, Pulau
Weh sudah terlihat, yaitu berupa gundukan yang menyembul di atas permukaan air
laut. Gundukan pulau ini bisa kita lihat dengan mudah karena jarak antara Banda
Aceh dan Sabang hanya terpaut sekitar 16 mil atau 30 km. Pemandangan ini hanya
bisa kita saksikan jika cuaca sedang cerah. Karena pada saat mendung atau hujan
gundukan pulau tersebut akan tertutup kabut.
Ketika kapal cepat yang saya tumpangi bergerak, rasa penasaran itu semakin
menjadi-jadi. Rasa penasaran itu perlahan mereda setelah sekitar satu jam
kemudian kapal merapat di Pelabuhan Balohan, Sabang. Ini jika kita naik kapal
cepat, jika naik kapal lambat waktu tempuhnya bisa sekitar dua jam.
Petualangan menikmati pulau ini disambut dengan kesibukan di sekitar
pelabuhan. Namun kesibukan ini bukanlah “wajah” asli Kota Sabang. Suasana Kota
Sabang yang sebenarnya baru saya rasakan ketika minibus jenis L-300 yang saya
tumpangi pelan-pelan melaju menuju Kota Atas, pusat Kota Sabang. Sepanjang
jalan yang dilalui yang terekam hanya suasana lengang, kendaraan umum hanya
lewat satu-satu.
Selama ini pulau Weh memang terkenal dengan eksotisme pantainya yang indah.
Bahkan pesona baharinya itu sudah terkenal hingga ke luar negeri, dan membuat
banyak turis manca negara berkunjung ke sana. Itu memang benar, tapi selain
keindahan pantainya, suasana Kota Sabang juga sangat asyik untuk dinikmati.
Wajah asli Kota Sabang adalah ketenangan, jauh dari hiruk pikuk dan bising
laju kendaraan. Bahkan oleh lalu lalang manusia. Kesan ini terasa sangat kental
saat saya menyusuri beberapa ruas jalan utama di pusat Kota Sabang. Bahkan pada
jam-jam produktif sekalipun, seperti pada saat tengah hari yang biasanya
merupakan jam-jam sibuk dan padat lalu lintas.
Pada siang hari umumnya toko-toko di Sabang juga tutup, tak terkecuali rumah
makan. Jika pun ada yang buka hanya satu-satu. Suasana ini pula yang membuat
kita seolah-olah terlempar ke masa lalu. Dan saya yakin, salah satu hal yang
akan melekat di ingatan orang yang pernah datang ke sana adalah suasana itu.
Tak heran jika Sabang sering diplesetkan menjadi Santai Banget.
Suasana inilah yang membuat Sabang menjadi berbeda dengan kota lainnya di
Aceh, pelancong yang datang ke sana benar-benar bisa refreshing tanpa
perlu merasa terganggu dengan hiruk pikuk dan polusi udara. Ya, udara di Sabang
menurut saya cukup bersih. Apalagi didukung dengan tampilan Sabang yang menurut
saya benar-benar tempoe doeloe sekali. Di mana masih
terdapat banyak pohon-pohon tua yang telah berusia ratusan tahun di beberapa
ruas jalan utamanya, seperti di Jalan Diponegoro dan Jalan Tgk Chik Ditiro.
Masih di sekitar Jalan Diponegoro, tak jauh dari depan kantor Wali Kota
Sabang terdapat sebuah bunker Jepang dengan kedalaman hampir dua meter. Bunker
tersebut sudah dipugar jadi pelancong bisa dengan mudah masuk ke sana. Karena
di dalamnya gelap sebaiknya saat masuk membawa senter kecil atau memanfaatkan
penerangan dari handphone.
Di Pulau Weh, bunker Jepang ada banyak sekali, seperti di kawasan pantai
Sumur Tiga, dan yang paling terkenal di daerah Benteng yang berada di sebelah
Timur pulau Weh. Bunker-bunker itu umumnya menghadap ke laut, wajar mengingat
dulunya bunker itu berfungsi sebagai benteng pertahanan.
Di Jalan Diponegoro juga ada sebuah tugu, Tugu Sabang namanya. Di tugu ini
terdapat keterangan titik koordinat Kota Sabang. Menariknya, saat kita berdiri
di area tugu ini begitu kita menjulurkan pandangan ke depan, yang terlihat
adalah pemandangan teluk Sabang dengan air lautnya yang biru. Dari tempat
ini view-nya sangat indah, apalagi tak jauh dari situ juga banyak
pohon cemara. Dari kejauhan kita juga bisa menyaksikan pelabuhan BPKS, di
waktu-waktu tertentu di pelabuhan ini sering merapat kapal pesiar yang membawa
turis untuk berpelesir ke Pulau Weh.
Selain itu bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda juga masih banyak
ditemui di Sabang, kantor Wali Kota salah satunya, lalu ada RSU Sabang, Hotel
Samudera, SD N 6 Sabang dan Gedung Kesenian Sabang. Gedung Kesenian ini berada
di Jalan Teuku Umar, dulunya adalah gedung bioskop dan selama lima tahun
terakhir dialihfungsikan jadi Gedung Kesenian. Saat melihat gedung-gedung tua
itu membuat ingatan kita melayang pada serdadu-serdadu belanda dengan kumisnya
yang melengkung.
Suasana tempoe doeloe itu jauh lebih terasa saat kita ke
kawasan Merbabu. Kawasan Merbabu terkenal dengan kerkhof-nya,
uniknya di sini bukan hanya ada kuburan Belanda saja, tetapi juga ada kuburan
Jepang, Cina, dan kuburan muslim. Khusus kuburan Belanda, dikelilingi oleh
pepohonan besar yang usianya sudah ratusan tahun. Saat langit sedang cerah,
bila kita memandang ke atas maka cahaya matahari akan menerobos dari
celah-celah daun.
Sebagai penutup adalah menikmati wisata kuliner di Pusat Jajanan Selera
Rakyat atau Pujasera. Tempat ini baru dibuka pada malam hari. Di sini kita bisa
menemui aneka kuliner dengan harga yang terjangkau. Jika mau yang lebih
spesifik maka pilihannya adalah sate gurita. Menikmati sajian kuliner di bawah
taburan bintang dan sepoi angin pulau adalah pengalaman yang tak terlupakan.[]
Sumber :
http://www.atjehpost.com/m/welcome/read/2012/10/24/25164/0/19/Asyiknya-Menikmati-Pesona-Kota-Tua-Sabang