Senin, 20 Agustus 2012

Berpetualang dengan “Kereta” di Sabang


Selain memancing, snorkeling atau diving di Sabang ada asyiknya kalau kita juga mencoba mengeksplore lebih jauh tempat indah ini dengan kereta. Jangan membayangkan kendaraan besar  berbadan besi baja, yang dimaksud kereta di Sabang sebutan untuk sepeda bermotor. 

Untuk menjelajahi Sabang dengan kereta, kita dapat menyewa di Pelabuhan Balohan atau bisa juga di Pantai Gapang ataupun di Teupin Layeu, Iboih. Biaya sewa kereta sekitar Rp. 100.000 per hari. Kita akan diminta persyaratan administrasi dan helm untuk kenyamanan berkendara. Meskipun hampir tak pernah ada razia dan aksi kebut-kebutan, keamanan lebih baik tetap diutamakan, yang perlu diperhatikan masih banyaknya hewan liar seperti babi hutan atau kambing yang tiba-tiba menyebrang jalan. Memilih mengendarai sepeda motor matik dapat memberi kenyamanan menikmati jalanan mulus Sabang yang berkelok naik turun, tak perlu tukar gigi saat berkendara, tinggal gas!

Suaranya pun halus, motor ini dihargai masyarakat Sabang yang tidak begitu suka suara gaduh dari cerobong emisi kendaraan. Isilah kereta sewaan tersebut dengan bahan bakar yang cukup untuk ke berbagai tujuan dan kembali lagi ke tempat sewanya. Jangan sampai kehabisan bahan bakar karena di Pulau Weh hanya ada dua SPBU yang letaknya hanya di Kota Sabang. Namun demikian, di setiap kios yang ada di tepi jalan, bahan bakar eceran biasa dijual, harganya mulai Rp 5.000 hingga Rp 7.500 per liternya.
Kalau kehabisan bensin maka mintalah tolong pada penduduk setempat yang sedang lewat untuk mengantar kita membelinya di tempat terdekat. Masyarakat Sabang terkenal jujur dan penolong.

Ayo,ke Sabang Lagi!

Minggu, 19 Agustus 2012

Piyoh, Sebuah Destinasi Wisata di Sabang

Apa yang penting bagi sebagian pejalan jika berkunjung ke suatu daerah tujuan wisata? Oleh-oleh atau buah tangan salah satunya. Saya bukan termasuk pejalan yang hobi membeli banyak oleh-oleh apabila melakukan perjalanan. Bagi saya, oleh-oleh seringnya,  hanya untuk diri sendiri saja sebagai kenang-kenangan. Kalau ditanya oleh kawan-kawan atau orang-orang terdekat soal oleh-oleh, saya lebih suka memberikan oleh-oleh foto yang saya ambil dari tempat wisata atau lebih suka menceritakan pengalaman saya berkunjung ke tempat wisata tersebut. Dan, kenang-kenangan bagi diri sendiri yang sering saya beli dari suatu daerah adalah kaos.

Kunjungan pertama saya ke Sabang, Pulau Weh terjadi ketika tahun 2009. Saat itu saya tidak membeli kaos apa pun sebagai kenang-kenangan. Melihat beberapa penjual kaos dan cendera mata di sepanjang Jalan Perdagangan, Sabang, tidak ada yang menarik hati saya. Banyak sih kaos bertuliskan Sabang, Pulau Weh, atau apa pun yang bisa dijadikan untuk oleh-oleh, tapi menurut saya semua kaos-kaos yang dijual itu tidak ada yang menyentuh hati saya. Tidak dibuat dengan hati. Dengan kata lain, dibuat dengan asal-asalan. Dengan kualitas seadanya walaupun memang harganya juga relatif murah. Tapi bagi saya, bukan harga yang penting, tapi kualitas. Di akhir perjalanan, saya hanya membeli gantungan kunci dan pin saja sebagai oleh-oleh.
Baru sekitar akhir tahun 2010 saya tahu tentang sebuah tempat jual souvenir khas Sabang bernama Piyoh. Sebenarnya perkenalan saya dengan Piyoh bukan terjadi ketika saya berkunjung ke Sabang. Tapi dari sebuah kuis yang diadakan oleh sebuah akun komunitas di twitter bernama iloveaceh dengan hadiah sebuah kaos dari Piyoh. Tidak disangka saya menjadi pemenang dan berhak mendapatkan hadiah yang harus diambil sendiri di Toko Mr.Piyoh di Banda Aceh di samping kedai kopi terkenal, Solong. Ketika mengambil hadiah tersebut lah saya baru mengenal Piyoh dan pemiliknya, Bang Hijrah, secara lebih personal.
Ya, selain di Sabang, memang Mr.Piyoh juga hadir di Banda Aceh. Malah lewat Mr.Piyoh di Banda Aceh ini, yang bisa dibilang adalah cabang dari Piyoh yang ada di Sabang, saya baru berkenalan dengan Piyoh. Beberapa kali ke Sabang tidak membuat saya tahu tentang Piyoh. Padahal Piyoh sendiri sudah terbilang cukup lama berada di Sabang, sejak tahun 2008 lalu.
Dari pengalaman pribadi memperoleh kaos gratisan itu, saya kagum dengan desain kaos Piyoh. Ada keseriusan di dalamnya. Ada hati yang ikut bermain di sana. Kualitas kaos yang digunakan jauh di atas kaos-kaos yang saya temui di Sabang tahun 2009 lalu. Desainnya pun tidak sekedar gambar bentuk huruf W dari Pulau Weh sederhana dengan tulisan “Sabang, Pulau Weh” di bawahnya. Namun lebih dari itu. Kaos yang saya dapatkan waktu itu seperti berbicara banyak kepada saya. Bergambar animasi seorang Agam (sebutan laki-laki dari Aceh) yang memakai pakaian adat Aceh lengkap dengan Kupiah Meukeutop sebagai penutup kepala sedang tersenyum ceria. Di samping Agam tersebut terdapat tulisan “Welcome to Sabang, Vacation Island”. Hmm.. apabila saya seorang turis yang datang ke Sabang, saya akan merasa disambut dengan hangat sekali oleh kaos ini.

Kaos pertama saya dari Piyoh
Kaos pertama saya dari Piyoh

Sejak saat itulah setiap saya ke Sabang, saya selalu menyempatkan waktu untuk berkunjung ke Jl. Cut Meutia No.11, tempat Piyoh berdiri. Walaupun tidak selalu membeli jika berkunjung ke sana, tapi memperkenalkan Piyoh ke kawan-kawan seperjalanan menjadi suatu kegembiraan bagi saya. Kegembiraan yang ujung-ujungnya sering membuat mupeng juga karena sering kali saya tidak memperoleh kaos yang saya inginkan karena alasan ukuran yang tidak tersedia atau model kaos yang saya inginkan habis. Entah karena memang laris atau saya yang kurang beruntung. Bagi saya sih mungkin gampang ya, bisa sering berkunjung ke Piyoh. Lha kalau bagi pejalan yang hanya sesekali pergi ke Sabang, apabila hal tersebut terjadi dengan mereka, pasti membuat kecewa. Mungkin sepertinya Piyoh harus membuat kaos yang lebih beragam dalam hal ukuran dan model agar para pejalan tidak kecewa.
Suatu hal yang sangat membanggakan memang bagi Sabang memiliki seorang Hijrah Saputra. Seorang yang sangat peduli dan cinta dengan tanah kelahirannya hingga membuat sesuatu hal yang nyata untuk ikut memajukan pariwisata di Sabang khususnya dan Aceh pada umumnya. Saya setuju dengan pernyataan pria yang pernah menyandang Juara I Agam Duta Wisata Aceh tahun 2008 ini, bahwa kaos adalah sebuah bahasa standar yang universal untuk menunjukan identitas dari mana kita berasal. Bagi sebagian pejalan, memakai sebuah kaos beraroma khas dari sebuah daerah tujuan wisata, selain berfoto narsis di objek wisata tentu saja, adalah bentuk dari pembuktian bahwa mereka pernah berkunjung ke daerah tersebut. Dan dengan desain yang unik dan menarik, saya rasa Bang Hijrah cukup berhasil menyebarkan semangat pariwisata Sabang ke penjuru Indonesia atau bahkan dunia. Karena dengan satu-satunya kaos oleh-oleh khas Sabang yang menurut saya berkualitas, setiap pejalan dari belahan dunia manapun yang datang ke Sabang, pasti lebih banyak yang mengunjungi Piyoh untuk membeli oleh-oleh daripada ke toko lain. Dan ketika kaos produksi Piyoh dipakai para pejalan tersebut ke kampung halaman mereka misalnya, itu adalah promosi gratis Pariwisata Sabang dan juga Piyoh tentu saja.

Gantungan Kunci I ♥ Sabang (photo taken from Hijrah Saputra Yunus' Facebook page)
Gantungan Kunci I ♥ Sabang (photo taken from Hijrah Saputra Yunus’ Facebook page)

Bukan hanya kaos saja yang dijual Piyoh. Pernak-pernik kecil semacam pin dan gantungan kunci juga ada. Walaupun kecil, saya melihat semangat berbagi tentang Sabang tidak ikut menjadi kecil. Dalam sebuah gantungan kunci yang bergambar I ♥ Sabang misalnya. Gambar hati dalam desain tersebut adalah kolase dari nama-nama tempat wisata di Sabang. Melihat gambar hati tersebut membuat saya menyadari bahwa ternyata banyak tempat yang potensial untuk dijadikan destinasi wisata berkelas dunia, pesan yang jelas sekali disampaikan bahwa Sabang memang penuh pesona dan patut dijadikan tujuan utama wisata.
Bagi saya, Piyoh bukan hanya sekedar tempat yang menjual kaos atau souvenir. Piyoh menjelma sebagai salah satu destinasi wisata di kota Sabang. Bukan hanya pemandangan alam berpulas warna biru langit yang menjadi daya tarik Sabang. Bukan hanya sebagai daerah tapal batas paling barat milik Indonesia yang membuat Sabang istimewa. Tidak cukup pula hanya warna-warni dunia bawah laut yang bisa ditawarkan oleh Sabang. Tetapi Piyoh membuat Sabang lebih dari itu. Piyoh menyebarkan semangat berbagi tentang Sabang dengan cara unik dan dapat menyentuh hati. Piyoh memang berarti ajakan mampir dalam Bahasa Aceh. Namun Piyoh Design mengajak untuk lebih dari sekedar mampir bagi penikmat wisata Sabang.


Sumber : http://buzzerbeezz.wordpress.com/2012/05/07/piyoh-sebuah-destinasi-wisata-di-sabang/

Pantai Kasih Guest House


Guest House "Pantai Kasih" memberikan alternatif kepada Anda yang mendambakan penginapan yang bersih, aman, tenang dan nyaman dengan suasana serasa di rumah sendiri. Sesuai dengan namanya Guest House ini berada di Pantai Kasih.
Pantai Kasih terletak di utara Pulau Weh yang berbatasan dengan Selat Malaka. View Guest House langsung menghadap lepas pantai Selat Malaka.
Selat Malaka adalah selat yang terletak di antara Semenanjung Malaysia (Thailand, Malaysia, Singapura) dan Pulau Sumatera. Selat Malaka membentuk jalur pelayaran antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sepanjang hari dan malam dapat dilihat kapal-kapal berukuran besar yang melintas baik kapal cargo maupun kapal pesiar, pemandangan yang mengasyikan.
Guest House kami menyediakan ruang duduk santai nyaman dengan view ke Pantai Kasih. Guest House "Pantai Kasih" hadir dengan konsep 'rumahan' ..  
Guest House menawarkan 3 tipe kamar : Deluxe, Superior dan Standar. Jangan kuatir untuk isuess mengenai harga, harga yang kami tawarkan cukup terjangkau. 


Guest House Pantai Kasih 
Jalan Sultan Hasanuddin, No.10
Telp : +62 652 21066
HP : 0813 7734 7444 (Telkomsel)
or 0877 4721 7639 (XL) 
 Sabang 

Senin, 06 Agustus 2012

Casanemo Bungalow and Restourant

 
Ada 8 bungalow mewah dan 3 kamar standar dengan 2 tempat tidur tunggal. 1 bungalow memiliki tempat tidur ukuran besar. Tempat tidur tambahan dapat diatur sesuai permintaan.

Teras yang dilengkapi dengan kursi rotan, kamar mandi dalam terbuat dari batu pasir Jawa (dengan bak) dan semua dilengkapi dengan air hangat. Kamar yang disajikan dengan rak atau lemari, lemari es juga dilengkapi dengan kelambu dan kipas langit-langit.


Bungalows hari kerja (2 dewasa) Rp200, 000 per malam
Bungalows akhir pekan (2 dewasa) Rp200, 000 per malam
Keluarga satuan hari kerja (2 orang dewasa 2 anak) Rp200, 000 per malam
Akhir pekan ruang keluarga (2 dewasa 2 anak) 200, 000 per malam

Tambahan kasur atau tambahan biaya tamu: Rp35, 000 per malam.
 
Contact Person : +62 (813) 6299 9942| +62 (813) 6025 5001
E-mail :  casanemo@yahoo.com
 Website : http://www.casanemo.com/index.htm

Freddies Santai Sumurtiga


Terletak di pantai timur Pulau Weh, lokasinya hanya 5 menit berkendara dari Kota Sabang. Terhampar sekitar 2 mil pantai berpasir putih, cocok bagi pecinta pantai atau untuk berbulan madu. Kadang dari sini terlihat lumba-lumba.

Pantai Sumur Tiga yang memiliki pantai yang menawan terutama pada semester kedua setiap tahun. Pantai ini dekat dengan kota tapi masih menyajikan suasana tenang dan santai. Semua bungalow menghadap ke pantai yang akan sempurna untuk bermalam, Freddie Santai Sumur Tiga (Freddie, dari Afrika Selatan, memiliki Santai Sumurtiga). 

Tarif       

Hari kerja = Senin malam sampai Kamis malam
Akhir pekan = Jumat malam sampai Minggu malam

Bungalows hari kerja (2 dewasa) Rp240, 000 per malam
Bungalows akhir pekan (2 dewasa) Rp290, 000 per malam
Keluarga satuan hari kerja (2 orang dewasa 2 anak) Rp265, 000 per malam
Akhir pekan ruang keluarga (2 dewasa 2 anak) 305, 000 per malam

Tambahan kasur atau tambahan biaya tamu: Rp50, 000 per malam.
Maksimal 3 orang dewasa di semua kamar di Freddies.

Contact Person : +6281 360 255 001

Sejarah Sabang, Aceh


Sekitar tahun 301 sebelum Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh! Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di peta para pelaut.

Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi melalui rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Sinbad berlabuh di pulau Weh dan menamainya Pulau Emas.

Pedagang Arab yang berlayar sampai ke pulau Web menamakannya Shabag yang berarti Gunung meletus. Mungkin dari sinilah kata Sabang berasal, dari Shabag. Dari sumber lain dikatakan bahwa nama pulau Weh berasal dari bahasa Aceh yang berarti terpisah. Pulau ini pernah dipakai oleh Sultan Aceh untuk mengasingkan orang-orang buangan.

Sebelum terusan Suez dibuka tahun 1869, kepulauan Indonesia dicapai melalui Selat Sunda dari arah Benua Afrika, namun setelah terusan Suez dibuka maka jalur ke Indonesia menjadi lebih pendek yaitu melalui Selat Malaka. Karena kealamian pelabuhan dengan perairan yang dalam dan terlindungi alam dengan baik, pemerintah Hindia Belanda pada saat itu memutuskan untuk membuka Sabang sebagai dermaga. Pulau Weh dan kota Sabang sebelum Perang Dunia II adalah pelabuhan terpenting di selat Malaka, jauh lebih penting dibandingkan Temasek (sekarang Singapura). Dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station yang dioperasikan oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1881.

Pada tahun 1883, dermaga Sabang dibuka untuk kapal berdermaga oleh Asosiasi Atjeh. Awalnya, pelabuhan tersebut dijadikan pangkalan batubara untuk Angkatan Laut Kerajaan Belanda, tetapi kemudian juga mengikutsertakan kapal pedagang untuk mengirim barang ekspor dari Sumatra bagian utara. Pada tahun 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah Vrij Haven dan dikelola oleh Sabang Maatschaappij.

Saat ini setiap tahunnya, 50.000 kapal melewati Selat Malaka sehingga pada tahun 2000, pemerintah Indonesia menyatakan Sabang sebagai Zona Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas untuk mendapatkan keuntungan dengan mendirikan pelabuhan Sabang tersebut sebagai pusat logistik untuk kapal luar negeri yang melewati Malaka. Prasarana untuk dermaga, pelabuhan, gudang dan fasilitas untuk mengisi bahan bakar sedang dikembangkan.

Hal yang paling penting bagi sejarah Weh adalah sejak adanya pelabuhan di Sabang. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik. Kemudian belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton batubara telah terbangun. Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura. Di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.

Pada tahun 1970, pemerintahan Republik Indonesia merencanakan untuk mengembangkan Sabang di berbagai aspek, termasuk perikanan, industri, perdagangan dan lainnya. Pelabuhan Sabang sendiri akhirnya menjadi pelabuhan bebas dan menjadi salah satu pelabuhan terpenting di Indonesia. Tetapi akhirnya ditutup pada tahun 1986.

Sejarah Nama Sabang dan Pulau Weh

Berbicara mengenai sejarah, nama Sabang sendiri berasal dari bahasa Arab, Shabag yang artinya gunung meletus. Mengapa gunung meletus? mungkin dahulu kala masih banyak gunung berapi yang masih aktif di Sabang, hal ini masih bisa dilihat di gunung berapi di Jaboi dan Gunung berapi di dalam laut Pria Laot.

Sekitar tahun 301 sebelum Masehi, seorang Ahli bumi Yunani, Ptolomacus berlayar ke arah timur dan berlabuh di sebuah pulau tak terkenal di mulut selat Malaka, pulah Weh! Kemudian dia menyebut dan memperkenalkan pulau tersebut sebagai Pulau Emas di peta para pelaut.

Pada abad ke 12, Sinbad mengadakan pelayaran dari Sohar, Oman, jauh mengarungi melalui rute Maldives, Pulau Kalkit (India), Sri Langka, Andaman, Nias, Weh, Penang, dan Canton (China). Sinbad berlabuh di sebuah pulau dan menamainya Pulau Emas, pulau itu yang dikenal orang sekarang dengan nama Pulau Weh.

Sedangkan Pulau Weh berasal dari kata dalam bahasa Aceh, Weh yang artinya pindah, menurut sejarah yang beredar Pulau Weh pada mulanya merupakan satu kesatuan dengan Pulau Sumatra, karena sesuatu hal akhirnya Pulau Weh, me-weh-kan diri ke posisinya yang sekarang. Makanya pulau ini diberi nama Pulau Weh. Berdasarkann sejarah penuturan dari warga di Gampong Pie Ulee Lheueh, Pulau Weh sebelumnya bersambung dengan Ulee Lheue. Ulee Lheue di Banda Aceh sebenarnya adalah Ulee Lheueh (yang terlepas). Beredar kabar juga Gunung berapi yang meletus dan menyebabkan kawasan ini terpisah. Seperti halnya Pulau Jawa dan Sumatera dulu, yang terpisah akibat Krakatau meletus. Pulau Weh terkenal dengan pulau We tanpa H, ada yang beranggapan kalau pulau weh diberi nama pulau we karena bentuknya seperti huruf W.

sejarah Pulau Weh adalah sejak adanya pelabuhan di Kota Sabang. Sekitar tahun 1900, Sabang adalah sebuah desa nelayan dengan pelabuhan dan iklim yang baik.

Kemudian Belanda membangun depot batubara di sana, pelabuhan diperdalam, mendayagunakan dataran, sehingga tempat yang bisa menampung 25.000 ton batubara telah terbangun. Kapal Uap, kapal laut yang digerakkan oleh batubara, dari banyak negara, singgah untuk mengambil batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya, hal ini dapat dilihat dengan masih banyaknya bangunan-bangunan peninggalan Belanda.

Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura. Namun, di saat Kapal laut bertenaga diesel digunakan, maka Singapura menjadi lebih dibutuhkan, dan Sabang pun mulai dilupakan.

Runtutan Sejarah kota Sabang

Titik nol Indonesia dimulai dari pulau ini. Pulau yang terletak di ujung terluar dan merupakan pintu gerbang wilayah barat negeri ini. Berbagai nama dan julukan telah disebutkan oleh para pelaut untuk pulau kecil yang memiliki keindahan alam hingga ke dasar lautnya ini. Bahkan berbagai penafsiran juga telah diberikan terhadap nama terkininya yang hanya terdiri dari tiga huruf: w-e-h.

Pulau Weh memiliki dua teluk yang dalam dan terlindung, yaitu Sabang dan Balohan, sebagai pelabuhan alam. Juga sumber air bersih dan letak yang strategis. Jadi tak mengherankan bila berbagai peristiwa telah terjadi di pulau ini. Setelah pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869, kepulauan Indonesia tidak lagi dicapai dari selatan, yaitu melalui Selat Sunda. Tetapi melalui sepanjang rute yang lebih utara, yaitu Selat Malaka, dan tentu saja melewati pulau Weh. Sayangnya data tertulis hanya merekam angka 1881 sebagai tahun terawal pulau Weh tercatat dalam sejarah tulisan yang otentik.

Tahun 1881 Belanda mendirikan Kolen Station di teluk Sabang yang yang terkenal dengan pelabuhan alamnya. Tahun 1883 Didirikannya Atjeh Associate oleh Factorij van de Nederlandsche Handel Maatschappij (Factory of Netherlands Trading Society) dan De Lange & Co. di Batavia (Jakarta) untuk mengoperasikan pelabuhan dan stasiun batubara di Sabang. Pelabuhan itu dimaksudkan sebagai stasiun batubara untuk Angkatan Laut Belanda, tetapi kemudian juga melayani kapal dagang umum. Tahun 1895 Kolenstation selesai dibangun dan bisa menampung 25.000 ton batubara yang berasal dari tambang batubara Ombilin di Sumatera Barat. Pelabuhan juga menyediakan bahan bakar minyak yang dikirim dari Palembang. Kapal uap dari banyak negara, singgah untuk mengambil bahan bakar batubara, air segar dan fasilitas-fasilitas yang ada lainnya. Sebelum Perang Dunia II, pelabuhan Sabang sangat penting dibanding Singapura.

Tahun 1896 Sabang dibuka sebagai pelabuhan bebas (vrij haven) untuk perdagangan umum dan sebagai pelabuhan transito barang-barang terutama dari hasil pertanian Deli yang telah menjadi daerah perkebunan tembakau semenjak tahun 1863 dan hasil perkebunan berupa lada, pinang, dan kopra dari Aceh sendiri, sehingga Sabang mulai dikenal oleh lalu lintas perdagangan dan pelayaran dunia.

Tahun 1899 Ernst Heldring mengenali potensi Sabang sebagai pelabuhan internasional dan mengusulkan pengembangan pelabuhan Sabang pada Nederlandsche Handel Maatschappij dan beberapa perusahaan Belanda lainnya melalui bukunya yang berjudul Oost Azie en Indie. Tahun 1899 Balthazar Heldring selaku direktur NHM merubah Atjeh Associate menjadi N.V. Zeehaven en Kolenstation Sabang te Batavia (Sabang Seaport and Coal Station of Batavia) yang kemudian dikenal dengan Sabang Maatschappij dan merehab infrastruktur pelabuhan agar layak menjadi pelabuhan bertaraf internasional. Tahun 1903 CJ Karel Van Aalst sebagai direktur NHM yang baru, mengatur layanan dwi-mingguan antara pelabuhan Sabang dan negeri Belanda, melibatkan Stoomvaart Maatschappij Nederland (Netherlands Steamboat Company) dan Rotterdamsche Lloyd. Selain itu, dia juga mengatur suntikan modal penting bagi Sabang Maatschappij dengan NHM sebagai pemegang saham mayoritas.

Tahun 1910 didirikan stasiun radio pemancar (Radio Zendstation te Sabang) di Ie Meulee (salah satu dari tujuh radio pemancar di Hindia Belanda Timur) untuk kemudahan komunikasi antara Belanda dan wilayah koloninya.

Tahun 1942 Pada PD II, Sabang diduduki oleh Jepang dan dijadikan basis pertahanan wilayah barat. Sabang sebagai pelabuhan bebas ditutup.

Tahun 1945 Sabang mendapat dua kali serangan dari pasukan Sekutu dan menghancurkan sebagian infrastruktur. Kemudian Indonesia Merdeka tetapi Sabang masih menjadi wilayah koloni Belanda.

Tahun 1950 Setelah KMB, Belanda mengembalikan Sabang kepada Indonesia. Upacara penyerahannya berlangsung di gedung Controleur (gedung Dharma Wanita sekarang). Kemudian melalui keputusan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Serikat Nomor 9/MP/50, Sabang menjadi Basis Pertahanan Maritim Republik Indonesia. Sabang Maatschappij dilikuidasi. Prosesnya selesai tahun 1959. Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschappij dibeli oleh Pemerintah Indonesia.

Tahun 1963, Tim Peneliti dari Universitas Syiah Kuala Banda Aceh bekerja sama dengan gabungan Pengurus Exsport Indonesia Sumatera melakukan penelitian terhadap kemungkinan Sabang dibuka kembali menjadi pelabuhan bebas, karena letaknya sangat strategis dalam sektor perdagangan antar Negara. Kemudian melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1963, Sabang ditetapkan sebagai Pelabuhan Bebas (Free Port), dan pelaksanaannya diserahkan kepada Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE).

Tahun 1964 Dibentuklah suatu lembaga Komando Pelaksana Pembangunan Proyek Pelabuhan Bebas Sabang (KP4BS) melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 22 Tahun 1964.

Tahun 1965 Kotapraja Sabang dibentuk dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1965.

Tahun 1970, dikeluarkan UU No. 3 tahun 1970 dan No. 4 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok daerah perdagangan bebas dengan pelabuhan Sabang dan tentang daerah perdagangan bebas dengan pelabuhan bebas untuk masa 30 tahun, dengan fungsi sbb: 1. Mengusahakan persediaan (stockpiling) barang-barang konsumsi dan produksi untuk perdagangan impor, ekspor, re-ekspor maupun industri.

2. Melakukan peningkatan mutu (upgrading), pengolahan (processing), manufacturing, pengepakan (packing), pengepakan ulang (repacking), dan pemberian tanda dagang (marking).

3. Menumbuhkan dan memperkembangkan industri, lalu lintas perdagangan, dan perhubungan.

4. Menyediakan dan memperkembangkan prasarana dan memperlancar fasilitas pelabuhan, memperkembangkan pelabuhan, pelayaran, perdagangan transito, dan lain-lain.

5. Mengusahakan memperkembangkan kepariwisataan dan usaha-usaha ke arah terjelma dan terbinanya shopping centre. -Mengusahakan dan memperkembangkan kegiatan-kegiatan lainnya khususnya dalam sektor perdagangan, maritim, perhubungan, perbankan dan peransuransian.

Tahun 1985 Status Sabang sebagai Daerah Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ditutup oleh Pemerintah RI melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1985, dengan alasan maraknya penyeludupan dan akan dibukanya Batam sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Tahun 1993 Posisi Sabang mulai diperhitungkan kembali dengan dibentuknya Kerjasama Ekonomi Regional Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT).

Tahun 1997 Dilaksanakannya Jambore Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang diprakarsai BPPT di Pantai Gapang, Sabang, untuk mengkaji kembali pengembangan Sabang.

Tahun 1998 Kota Sabang dan Kecamatan Pulo Aceh dijadikan sebagai Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) yang bersama-sama KAPET lainnya diresmikan oleh Presiden BJ Habibie dengan Keppres No. 171 tanggal 26 September 1998.

Tahun 2000 Presiden KH. Abdurrahman Wahid mencanangkan Sabang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan tanggal 22 Januari 2000 diterbitkan Inpres No. 2 Tahun 2000

Tanggal 1 September 2000 diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Tanggal 21 Desember 2000 diterbitkan Undang-undang No. 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Tahun 2002 Aktivitas pelabuhan Sabang mulai berdenyut kembali dengan masuknya barang-barang dari luar negeri ke kawasan Sabang.

Tahun 2004 Aktivitas ini terhenti karena Aceh ditetapkan sebagai Daerah Darurat Militer.

Tanggal 26 Desember 2004 Sabang juga mengalami Gempa dan Tsunami. Kemudian Badan Rekontruksi dan Rehabilitasi (BRR) Aceh-Nias menetapkan Sabang sebagai tempat transit udara dan laut untuk bantuan korban tsunami dan pengiriman material konstruksi dan lainnya yang akan dipergunakan di daratan Aceh.

Paskaperjanjian damai antara Pemerintah RI dengan GAM pada 15 Agustus 2005, Sabang kembali berdenyut. Wisatawan asing pun kembali berdatangan menikmati pesona pantai paling barat Indonesia ini. (Trisnani Murnilawati, Sabang Heritage Society, Sabang, Juni 2010.)

Minggu, 05 Agustus 2012

Pulau Weh, Legenda Pulau Terapung


Menurut cerita yang beredar di masyarakat, Pulau Weh adalah pulau yang mengapung dan berpindah-pindah dari satu samudera ke samudera lainnya, oleh karena itulah pulau tersebut dinamakan Pulau Weh yang dalam Bahasa Aceh berarti Pindah.
Keberadaaanya di tengah lautan membuat resah nahkoda kapal yang sedang berlayar dan berusaha keras untuk menghindari tubrukkan dengan pulau yang ssering berpindah-pindah ini, berbagai macam cara dilakukan untuk menghentikan pulau tersebut. Hingga pada suatu ketika, seorang ulama dari Mekah berhasil mengendarai pulau terapung tersebut hingga akhirnya menemukan tempat yang tepat, yaitu di ujung sumatera dengan harapan nantinya pulau tersebut menjadi tempat bermulanya berdakwah ke penjuru daratan sumatera dan akan menjadi bagian dari perjalanan haji para pemeluk agama islam ke tanah suci nantinya.
Pulau Weh juga dipercaya sebagai tempat bersunyinya para ulama yang memiliki ilmu yang tinggi, ada kurang lebih 44 ulama yang bersunyi hingga akhir hayatnya di Pulau Weh. Makam-makam tersebut yang akhirnya dikenal dengan sebutan 44 keramat yang dipercaya masyarakat, Pulau Weh dilindungi oleh Sang Pencipta hingga aman dari mara bahaya seperti gempa dan tsunami dahsyad yang terjadi pada tahun 2004 silam.

Indahnya Kota Sabang


SABANG, kota kecil yang indah di ujung barat Indonesia, merupakan objek wisata bahari nusantara yang menjadi surga bagi para penyelam. Satu kota di Pulau Weh ini memiliki tugu Nol Kilometer sesuai dengan slogan "Dari Sabang sampai Merauke". Tak jarang banyak orang menyebut Pulau Weh sebagai Pulau Sabang.

Sabang memiliki keindahan garis pantai, air laut biru yang jernih, serta pepohona hijau di sekitarnya. Selain wisata bahari ada pula wisata gunung, danau, pantai, laut dan hutan yang kealamiannya masih terjaga. Warga setempat kerap menyebut kota Sabang dengan dua nama, yakni kota bawah dan kota atas.

Sekitar ratusan spesies ikan dan ragam terumbu karang alami menghiasi kehidupan bawah lautnya. Perairan di Sabang merupakan tempat pertemuan Samudera Hindia dan Selat Malaka. Sebagai pelengkap wisata, Sabang menyelenggarakan event bernama Sabang International Regatta.

Sedikitnya ada lima pulau di Sabang, yakni Pulau Weh (pulau terbesar), Pulau Rubiah, Pulau Klah, Pulau Seulako, dan Pulau Rondo. Keaadaan alam Sabang meliputi dataran rendah, tanah bergelombang, berbukit dan begunung dan bebatuan sepanjang pantai. Sabang berbatasan langsung dengan 3 negara, yakni Malaysia, Thailand dan India.(MI/DNI)

sumber : http://www.metrotvnews.com/read/news/2012/02/25/83036/Indahnya-Kota-Sabang/11

Sabang, Surga Pariwisata yang Masih Terpendam

 
Ketika wisatawan Amerika, Mollie Hightower dan suaminya Brian Hubler datang ke Pulau Weh untuk menyelam dan ber-snorkeling , dia agak khawatir memakai bikini di wilayah di mana perempuan Muslim diwajibkan memakai jilbab dan pakaian panjang, setiap waktu.
Ia mengatakan, “Sebelum saya memakai pakaian renang, saya bertanya dan memastikan bahwa dibolehkan mondar mandir dengan bikini di pantai ini dan mereka mengatakan boleh saja di daerah resor (hotel)."
Hubler mengatakan rasanya aneh melihat perempuan berjilbab dan berpakaian yang menutup seluruh tubuh berada di pantai dengan iklim tropis seperti ini.
“Yang paling menyolok-dan ini mungkin diluar jangkauan hukum Syariah, tapi di negara Islam secara umum, banyaknya pakaian yang harus dipakai perempuan dalam cuaca yang sangat panas dan lembab rasanya mengherankan, " ujar Hubler.
Parawisata di Sabang yang juga dikenal sebagai Pulau Weh terus tumbuh sejak perjanjian damai ditandatangani pemerintah Indonesia dan pemberontak lokal-yang mengakhiri konflik 30 tahun di Propinsi Aceh.
Pulau ini hanya bisa dijangkau dengan feri. Tetapi lokasinya yang jauh maupun pelaksanaan hukum Syariah di Aceh tidak mengurungkan kedatangan wisatawan.
Salah seorang pemimpin industri parawisata Sabang adalah pemilik hotel Freddie Rousseau. Mantan staf PBB itu pertama kali datang ke Aceh sebagai bagian upaya kemanusiaan menyusul tsunami tahun 2004.
Dalam setahun terakhir, hotelnya, Santai Sumur Tiga, beroperasi dengan tingkat hunian 80 persen dan sejumlah hotel baru lainnya sedang dibangun.

Rousseau mengatakan hotel-hotel tersebut telah membantu perekonomian lokal lewat pembelian makanan dan bahan-bahan dan menciptakan lapangan kerja. Pejabat-pejabat lokal menyuarakan dukungan kuat bagi parawisata sebagai bagian penting pembangunan pulau tersebut. Dukungan ini termasuk membebaskan pengunjung Barat yang berada di hotel dari peraturan Syariah seperti larangan minum alkohol.
Rousseau mengatakan, “Meskipun menurut hukum Syariah minuman beralkohol dilarang, fakta bahwa saya hanya menjual minuman beralkohol kepada pengunjung internasional atau warga non Muslim membuat masyarakat juga menghargai aspek tersebut.”
Meskipun warga asing tidak terikat aturan berpakaian tersebut di Aceh secara umum, memakai pakaian renang yang minim dan pakaian terbuka lainnya tidak disukai di Aceh, satu-satunya propinsi di Indonesia yang memberlakukan hukum Syariah.
Rousseau mengatakan pembebasan aturan bagi parawisata tidak berlaku bagi hukum lainnya. Misalnya, ia memberi jaminan kepada pemerintah bahwa ia tidak akan mengijinkan pasangan yang tidak menikah tidur bersama.
Walikota Sabang, Munawar Liza Zainal mengatakan tidak ada konflik antara parawisata dan Islam sepanjang wisatawan menghargai budaya setempat yang berarti, berpakaian yang pantas saat mengunjungi perkampungan dan tidak mengadakan pesta yang bising.
Ia mengatakan minum dan berpesta yang bisa membuat masyarakat marah, tidaklah perlu. Tetapi kalau hanya untuk minum-minum biasa, menurutnya, orang Muslim tidak boleh melarang warga non Muslim melakukannya.
Zainal juga mengatakan penduduk Muslim lokal cukup berpendidikan dan memiliki moral yang kuat untuk melawan godaan-godaan.
Rousseau mengatakan menjaga agar Sabang menjadi tempat yang tenang, aman dan bersih sebagai alternatif dari Bali yang sangat padat sebagai tempat wisata utama Indonesia—adalah juga kepentingan industri parawisata.
“Kita tidak ingin Sabang menjadi Bali ke-2. Kita ingin agar tempat ini tetap bersih dimana orang bisa datang dan tinggal tanpa gangguan. Tanpa kemacetan tanpa polusi, " ujar Rousseau.
Rousseau mengatakan parawisata internasional bisa terus tumbuh di Sabang meskipun ada hukum Syariah-asalkan tetap di wilayah pribadi dan budaya lokal tetap utuh.

Sumber :
http://www.voaindonesia.com/content/sabang-surga-parawisata-yang-masih-terpendam-131559693/99294.html